Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Energi Listrik dari Desa, untuk Desa, bagi Indonesia (EBT dan DC Sistem)

Memang sebuah fakta bahwa di negara Indonesia yang berkeadilan sosial ini masih terdapat PR khusus mengenai pemerataan energi listrik yang belum menyentuh keseluruhan rakyat Indonesia untuk bisa merasakan dan menikmatinya. Negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan jumlah penduduk yang cukup besar sehingga penyediaan akses energi listrik bagi masyarakat khususnya di wilayah pedesaan dan daerah terpencil lainnya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam upaya menciptakan pembangunan yang merata. Infra struktur atau akses jaringan listrik, kondisi geografis serta ketersediaan jumlah pembangkit listrik yang memadai di beberapa wilayah tertentu merupakan faktor utama dari tidak meratanya distribusi listrik ini.

Dalam hal pemerataan energi listrik, pemerintah menggunakan sebuah indikator yang berguna untuk mengukur jangkauan penyediaan energi listrik tersebut di Indonesia yang dinamakan dengan "rasio elektrifikasi" yang bisa juga didefinisikan sebagai jumlah rumah yang tersambung dengan listrik tanpa melihat kualitas penyediaan listrik yang diterima. Anda bisa melihat angka dan target capaian rasio elektrifikasi ini pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Peran Negara dalam hal ini tentulah sangat vital dan saat ini penulis sangat mengapresiasi usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam menemukan solusi agar semua rakyat Indonesia setidaknya bisa merasakan terangnya dunia malam lewat cahaya lampu yang dihidupkan dari energi listrik. Kita sebagai warga negara tentunya harus mendukung upaya pemerataan energi listrik di semua daerah di Indonesia ini dan harus optimis permasalahan ini akan tersolusikan bertahap disamping tantangan dan kendala yang ada.

"Energi berkeadilan" itulah jargon pemerintah lewat kementrian ESDM dengan misi "'Menyediakan energi secara merata dengan harga terjangkau, meningkatkan kontribusi penerimaan negara, sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi". Ini cukup mengisyaratkan pada kita adanya usaha serius dan harapan dari pemerintah saat ini tentang pemerataan energi khususnya energi listrik agar bisa sampai pada seluruh masyarakat Indonesia dengan segala alternatif cara tanpa terbebani harga listrik mahal yang menyiksa rakyat.

Energi Berkeadilan
Energi Berkeadilan via www.esdm.go.id

Salah satu upaya pemerintah dalam hal ini adalah mendorong tumbuhnya sumber energi atau pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) yang pastinya bisa menghasilkan produksi listrik dengan harga listrik per kWh yang super murah disamping ada harga yang mahal yang harus dikeluarkan pemerintah untuk biaya investasi awal proses pembuatan EBT ini. Tapi jika fokus demi rakyat, seharusnya tidak ada istilah "mahal" dalam kamus upaya mensejahterakan rakyat ini.

Pemerintah pada dasarnya sudah melakukan tiga pendekatan utama yang digunakan untuk pemenuhan akses energi listrik bagi masyarakat, yaitu perluasan jaringan PLN, jaringan terisolasi (isolated grid), dan pendistribusian LTSHE yang akan diuraikan menurut pengetahuan penulis sebagai berikut:

1. Perluasan jaringan PLN

Pendekatan pada poin ini jelas terkendala dengan kondisi geografis Indonesia yang menantang. Infrastruktur untuk akses jaringan menjadi  faktor penting untuk merealisasikan pendekatan ini, sehingga otomatis pada pendekatan ini akan membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang juga tidak sebentar karena faktor pembenahan infra struktur dan kondisi geografis tersebut. Para analis atau ahli kelistrikan dari pemerintah pastinya sudah mengkaji untuk memilih dimana pendekatan ini lebih tepat untuk direalisasikan demi kemaslahatan yang lebih luas.

Hal lain sebagai aspek positif dari pendekatan ini adalah terbentuknya instalasi jaringan listrik yang cukup handal dan ber prospek jangka panjang jika didukung sumber pembangkitan yang besar atau cukup yang men-supply grid jaringan listrik.

2. Jaringan terisolasi (isolated grid)

Yang dimaksud dengan isolated grid disini adalah instalasi jaringan listrik yang bersifat lokal atau terpisah atau berdiri sendiri tanpa ada interkoneksi dengan sistem grid jaringan listrik PLN yang lebih besar. Pada pendekatan ini faktor penting yang harus dibangun adalah berdirinya sebuah pembangkit tenaga listrik dengan sistem control "island mode operation" dengan daya output yang cukup untuk men-supply permintaan energi listrik pada daerah tertentu.

Kelemahan pada metoda ini adalah kehandalan jaringan tidak akan terlalu kuat (baca: lemah) karena tidak ada supply besar yang mem-back up jaringan listrik tersebut, tetapi untuk skala jaringan lokal atau desa yang kecil serta peruntukannya, hal ini bisa diabaiakan, manfaat yang didapat justru lebih luas dibanding kelemahannya. Justru dengan isolated grid, jaringan listrik didaerah tertentu tidak akan terpengaruh jika terjadi gangguan jaringan pada grid interkoneksi PLN yang luas.

Dengan memperhatikan konsep biaya listrik yang murah tentu saja pada pendekatan ini aplikasi pembangkit yang relevan adalah pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan). Pemerintah dengan regulasi-regulasi yang diluncurkan tentunya sangat mendukung realisasi program ini. Sebagai opini solusi lain dari penulis, saya akan membahas pengembangan atau improvement pada pendekatan metoda ini yang disesuaikan dengan kendala-kendala yang ada.

3. Pendistribusian LTSHE

LTSHE merupakan singkatan dari Lampu Tenaga Surya Hemat Energi. Ini adalah pendekatan paling realistis memecahkan masalah dengan cepat untuk menerangi masyarakat yang membutuhkan. Jika pemerintah fokus pada pendekatan ini saja, penulis yakin bahwa realisasi pemerataan energi listrik ke semua daerah bisa cepat tercapai, angka rasio elektrifikasi bisa naik. Tetapi terdapat faktor negatif dari pendekatan ini menurut penulis yaitu realisasinya memiliki sifat hanya jangka pendek. Artinya akan ada masalah-masalah baru yang akan terjadi kedepannya terkait misalnya faktor life time, aspek maintenance, ketersediaan sparepart solar cell dan biaya tambahan lain sebagai imbas menurunnya performa LTHSE ini yang akan menjadi beban tersendiri bagi rakyat sehingga angka rasio elektrifikasi pun akan menjadi turun kembali secara perlahan.

Jadi metode pendekatan ini sifatnya temporer dan bisa direalisasikan berdasarkan hasil kajian khusus dengan menyesuaikan pada berbagai pertimbangan sesuai dengan situasi dan kondisi di suatu daerah.

Solusi lain untuk meningkatkan angka rasio elektrifikasi (Opini Penulis)

Pertama-tama saya ingin mengatakan kembali bahwa yang saya sampaikan bisa saja kurang tepat atau tidak sesuai atau memang sudah menjadi agenda pemerintah saat ini dan bahkan sudah mulai realisasi, hanya penulis saja yang kurang update, mohon maaf jika seperti itu ya ...:)

Energi Listrik dari Desa, untuk Desa, bagi Indonesia (EBT dan DC Sistem)

Pada dasarnya sebuah desa terpencil yang sulit diakses jaringan listrik di Indonesia adalah sebuah tempat yang pasti bisa diakses sinar matahari, atau bahkan ada aliran sungainya dan pastinya ada tiupan anginnya disana. Ya... anda pasti tahu arah pembicaraan saya mau dibawa kemana, ya..khan..?

Artinya ada setidaknya 3 potensi alam anugerah Ilahi yang saya sebut diatas agar bisa dilakukan optimalisasi manfaat menjadi tenaga listrik berbasis EBT. Tenaga Mikro hidro dari aliran sungai yang ada, tenaga angin dan tenaga matahari atau surya bisa menjadi sumber energi utama. Para ahli mungkin bisa mengkajinya untuk kemungkinan realisasi berdasarkan kondisi wilayah dan berbagai pertimbangan lainnya. Ketiga potensi alam ini bisa masuk pada sistem jaringan yang sama yaitu DC Sistem. Kenapa harus DC? nanti pelan-pelan saya jelaskan ya.

Jika dari 3 potensi alam tersebut hanya satu yang bisa realisasi, tidak masalah yang penting ada pembangkit EBT yang terbentuk. Bahkan, jika kapasitas EBT tersebut berdaya kecil dan tidak bisa sebanding dengan permintaan listrik dari masyarakat setempat, tidak juga jadi masalah, yang penting sekali lagi ada pembangkit EBT yang terbentuk dan kita akan mensiasati keterbatasan energi yang dihasilkan EBT ini dengan cara manajemen energi yang baik. Caranya? nanti pelan-pelan saya ulas ya.

Pada permasalahan yang ada terkait realisasi EBT di sebuah desa atau daerah, analisa saya adalah masih terhambat dan terkendala kajian bahwa EBT yang akan dibentuk memanfaatkan potensi alam didaerah tersebut hanya bisa berdaya kecil dan tidak memungkinkan disalurkan ke seluruh masyarakat daerah tersebut sehingga dianggap masih tidak relefan dan belum menjadi solusi. Mohon maaf jika salah, namanya juga opini...:)

Jika memang seperti itu setidaknya inilah solusi yang bisa saya sampaikan, sekali lagi ini hanyalah opini ya, kesalahan adalah murni karena keterbatasan saya, benarnya adalah dari yang maha kuasa.

1. Substation DC

Karena isu yang saya angkat adalah terbatasnya daya output dari sebuah EBT untuk memenuhi kebutuhan listrik suatu daerah, maka konsep Substation DC inilah yang lebih tepat.

Substation DC yang saya maksud adalah sebuah tempat semacam gardu listrik, tetapi fungsinya adalah sebagai tempat berlabuhnya listrik DC yang dibangkitkan EBT yang kemudian listrik tersebut ditampung dalam komponen baterai-baterai portable yang sesuai dengan komponen kontrol yang mendukung capaian tegangan float batterai sebagai tegangan charging-nya. Inilah jawaban kenapa harus listrik DC yaitu agar listrik yang dihasilkan EBT bisa disimpan kedalam sebuah batterai. Jadi istilah Substation DC ini bisa disebut juga sebagai gudang penyimpanan listrik yang nantinya bisa didistribusikan ke masyarakat.

Pembangunan Substation DC ini senantiasa berada diposisikan ditempat strategis dan mudah diakses masyarakat. Dengan konsep ini kita sudah tidak memikirkan dulu instalasi dari sumber listrik menuju rumah masyarakat, cukup dibangun instalasi penyaluran listrik yang baik dari output EBT menuju Substation DC saja.

2. Batterai Portable

Sebelumnya saya akan mencoba menghitung secara kasar berapa kebutuhan listrik untuk satu rumah di Desa terpencil. Saya asumsikan bangunan standard yaitu punya 1 ruang tengah, 1 kamar mandi, 1 kamar tidur dan 1 dapur. Jadi 1 rumah adalah 4 ruangan dan saya asumsikan kebutuhan penerangan adalah 15 Watt lampu LED 12VDC per tiap ruangan (ini terang banget loh, silahkan disurvey) sehingga total Watt keseluruhan ruangan adalah 15Watt x 4 ruangan = 60 Watt. Kapasitas Ah (Ampere hours) dari batterai yang harus disediakan tiap rumah adalah:

(*) Kita hitung dulu kebutuhan arus listrik saat semua lampu menyala (Malam hari) yaitu:

Watt DC = Ampre (A) x Tegangan (VDC)
Ampere (A) = Watt DC : Tegangan (VDC)
Ampere (A) = 60 Watt DC : 12 VDC = 5 Ampere

(**) Sekarang kita tentukan berapa lama lampu tersebut  nyala atau beroperasi.
Jika saya asumsikan secara umum nyala pkl 18.00 dan mati pkl.06.00 maka waktu operasi lampu tersebut adalah 12 Jam, maka:

Ah Batterai = 5 Ampere x 12 Jam = 60 Ah

Untuk besarnya fisik battery dengan kapasitas 12VDC, 60Ah sebagai bayangan anda bisa lihat accu mobil atau silahkan anda searching di toko online. Intinya battery tersebut masih bisa di jinjing orang dewasa (meskipun agak berat sih...) atau  dibawa pake sepeda motor. Atau bisa juga didesain secara custom yang lebih efektif, praktis dan menyesuaikan kondisi aktual.
Batterai 12VDC, 60Ah
Contoh batterai 12VDC, 60Ah

Jika menggunakan pola operasi setiap hari lampu nyala 12 jam, maka masyarakat harus menukar batterai tiap hari. Terdengar agak merepotkan sih, tapi saya percaya akan ada pola operasi ideal nantinya yang tidak terlalu merepotkan masyarakat atau bahkan masyarakan bisa melakukan manajemen energi sendiri. Misalnya, lampu kamar mandi hanya dinyalakan saat dipakai saja dengan total perhari bisa satu jam saja bukan 12 jam. Lampu kamar tidur dimatikan saat tidur, jadi total nyala dalam 1 hari cukup 3 jam saja bukan 12 jam. Begitupun dengan lampu diruangan lainnya, atau watt lampunya diturunkan disesuaikan kebutuhan ruangan, itu juga bisa. Intinya kesempatan manajemen energi listrik yang bisa dilakukan masyarakat terbuka lebar sehingga dengan spec batterai 12VDC, 60 Ah bisa bertahan lebih dari satu minggu artinya memungkinkan waktu yang cukup untuk menyiapkan banyak batterai standby di Substation DC.

Pada tiap rumah juga bisa dikondisikan membuat tempat batterai portable khusus yang efektif saat pasang dan lepas koneksi, serta dilakukan juga instalasi cahaya yang paten pada rumah dengan komponen lampu beserta saklarnya yang memenuhi standard SNI.

3. Mekanisme Charging batterai portable

Substation DC merupakan tempat charging batterai-batterai portable identik, pada kasus ini saya asumsikan dengan batterai hasil hitungan diatas yaitu batterai 12VDC, 60Ah. Sistem pendistribusian batterai adalah memakai mekanisme tukar pakai. Masyarakat bawa batterai kosong identik yang dipersyaratkan, kemudian bayar dan tukar dengan batterai yang sudah full charging dan standby di Substation DC tersebut. Jika anda belum bisa membayangkan mekanisme ini anda cukup bayangkan tentang mekanisme pengisian tabung gas untuk kompor dirumah anda, persis mekanismenya mirip seperti itu.

Atau jika memungkinkan ada mobil batterai keliling sesuai jadwal pendistribusian ke alamat-alamat tertentu. Yup... memang mirip pedagang-pedagang tabung gas gitu, sama saja metodenya...

Masalah yang akan muncul selanjutnya adalah ketika Substation DC mengalami defisit atau "tekor", atau secara istilah adalah permintaan masyarakat akan ketersediaan listrik lebih besar dibanding kemampuan Substation men-charging sejumlah batterai untuk bisa full charging dan status standby. Hal ini sangat mungkin terjadi. Inilah saatnya menggunakan manajemen energi yang baik yang saya maksudkan pada bahasan diatas. Jika sistem ini sudah mulai berjalan maka saya yakin akan ditemukan mekanisme managemen energi yang ideal, misalnya tiap rumah dibatasi penukaran battery perminggu harus maksimal berapa kali sehingga ada upaya pengendalian energi di rumah masing-masing. Selain itu bisa dibuatkan juga jadwal pertukaran batterai tiap rumah di jam berapa saja untuk menghindari pertukaran bersamaan dalam jumlah yang besar. Dan metode manajemen energi lainnya yang saya yakin akan bisa menyesuaikan dan dikondisikan sesuai  aktualnya.

Solusi lain tentang permasalahan defisit ketersediaan batterai di Substation DC ini bisa juga dilakukan adalah dengan melakukan stock full charging batterai dalam jumlah yang besar sebagai stock sebelum dimulainya pendistribusian perdana dan sosialisasi penerapan batterai di masyarakat. Ini akan sangat membantu dalam langkah awal studi kebutuhan listrik sebenarnya di masyarakat yang selanjutnya akan menjadi catatan khusus untuk bisa meningkatkan ketersediaan listrik yang kontinyu di masyarakat tersebut.

4. Utilisasi warga desa setempat

Energi listrik dari desa, untuk desa dan bagi Indonesia yang saya maksudkan adalah seperti ini, bahwa proses penyediaan energi EBT yang sedang saya bahas selanjutnya harus menjadi komoditi desa yang bersangkutan, dilakukan oleh warga desa setempat atau melalui koperasi desa misalnya. Tenaga kerja warga desa bisa dilatih atau dilakukan transfer knowledge dari para ahli supaya mereka mandiri dari sisi pemeliharaan alat, trouble shooting alat dan aspek teknik lainnya sehingga peran pemerintah hanya pada masa-masa perintisan saja dan selanjutnya setiap desa bisa mandiri  dari sisi kelistrikan, dan program pemerintah untuk mencapai target memperbaiki angka rasio elektrifikasi bisa tercapai. Selain itu secara tidak langsung pertumbuhan ekonomi masyarakat meningkat, angka pengangguran di desa teratasi, keterampilan masyarakat menigkat serta kebaikan-kebaikan lainnya bagi Indonesia.

Keuntungan dari pembangunan EBT di desa bisa dikembalikan untuk pengembangan desa kembali misalnya diinvestasikan untuk penambahan sumber EBT yang lain seperti pada Substation DC tersebut semua atapnya diganti solar cell misalnya atau sumber EBT yang lain sehingga sistem kelistrikan desa tumbuh, menguat dan mandiri serta harapannya pertumbuhan ekonomi desa mulai bertumbuh juga. Inilai yang saya maksud "dari desa untuk desa dan bagi Indonesia".

Demikian artikel singkat mengenai opini saya tentang tema Energi untuk Indonesia. Semoga alternatif solusi yang saya sampaikan setidaknya bisa jadi pertimbangan untuk kemungkinan realisasi kedepan bagi Indonesia serta diharapkan artikel ini bermanfaat bagi semua pihak. Koreksi ataupun masukan saya sangat menyambut baik dengan tangan terbuka dan mohon dimaklumi atas semua keterbatasan ilmu yang dimiliki.

Wassalam.

Posting Komentar untuk "Energi Listrik dari Desa, untuk Desa, bagi Indonesia (EBT dan DC Sistem)"